Menjadi Komikus
Selasa, Agustus 10, 2010
Label:
Wanna be
~
Profesi komikus masih sangat jarang di Indonesia. Wajar saja, pasalnya di tanah air kita belum ada industri komik. Tapi buat kamu yang kepincut jadi komikus, jangan khawatir, meski profesi komikus belum benar-benar dihargai di negari sendiri, kamu tetap bisa menjadi komikus profesional. Nggak percaya? Simak pengalaman Komikus Chris Lie yang sudah sepuluh tahun menggeluti profesi ini.
Otodidak + Formal
Untuk menjadi seorang komikus, kita bisa belajar secara otodidak. Lebih-lebih di Indonesia memang belum ada sekolah formal yang khusus mempelajari cara pembuatan komik. Tapi, saran Chris Lie, tetap akan lebih baik kalau kita mempelajari komik secara akademis atau melalui bangku sekolah. Menurutnya, hasil karya belajar secara otodidak dengan hasil karya lewat pendidikan formal bisa sangat jauh berbeda.
Chris punya pengalaman lucu, nih. Sebelum dirinya memperoleh beasiswa belajar komik di Amrik, karya komiknya cukup diperhitungkan di Indonesia. Tapi sesampainya di negeri Paman Sam itu, fakta berkata lain. “Begitu saya memperlihatkan komik buatan saya, mereka langsung bilang kalau komik saya jelek,” kenang Chris sambil tertawa.
Dengan menempuh study formal kita bisa mempelajari pembuatan komik lebih banyak dan detail, from A to Z. “Saya diajari teknik menggambar, warna, cerita, dan sebagainya secara teori dan praktik,” kata Chris. Mengingat di Indonesia belum ada sekolah yang mengajarkan pembuatan komik, mau nggak mau kita kudu mencarinya di luar negeri seperti Jepang dan Amerika.
Tapi gimana kalau kantong ngepas? Tenang, kita bisa mengambil langkah hunting beasiswa. Seperti yang dilakoni Chris, yang karena kegigihannya berhasil mendapatkan beasiswa S2 Sequential Art, di Savannah College of Art and Design, USA. Bisa juga dengan cara lain, bergabunglah di berbagai komunitas komik yang ada, salah satunya Komunitas Masyarakat Komik Indonesia (MKI). FYI, komunitas ini sudah pernah KD bahas di edisi Mei 2009.
From begining’ till the end
Dalam membuat komik, kita perlu tahu tahapan-tahapannya. Apa saja? Here we go!
1. Menciptakan ide.
2. Membuat alur cerita.
3. Membuat story board dengan menggunakan pensil.
4. Lalu, story board tersebut ditimpa dengan tinta. “Tujuannya supaya garisnya lebih terlihat bagus dan jelas,” kata cowok kelahiran Solo, 5 September 1974 ini.
5. Colouring atau pewarnaan gambar.
6. Lettering atau pemberian teks.
7. And then…. selesai, deh!
Seorang komikus dituntut untuk menguasai semua tahapan ini, lho. Jadi, nggak cuma jago gambar tapi mesti bisa juga membuat alur cerita. Di Amrik sendiri, kata Chris, alur cerita nggak hanya digarap sama komikus, tapi juga oleh penulis cerita. Untuk komik yang sederhana dan bercerita singkat, umumnya bisa dikerjakan oleh satu orang. Tapi kalau jalan ceritanya panjang, yang pastinya juga memakan waktu lebih lama, tentunya dibutuhkan lebih dari satu orang dalam pengerjaannya. Kerja tim gitu, deh.
Makes money?
Dari segi penghasilan, profesi komikus di tanah air memang belum menjanjikan. Hal ini sempat dirasakan Chris. Dulu dia dan teman-temannya pernah mendirikan perusahaan pembuatan komik yang diberi nama Studi Bajing Loncat (hehehe… namanya lucu juga). Meski di tahun kedua sudah bisa memperkerjakan 11 orang, namun perusahaan Chris dkk akhirnya nggak mampu bertahan alias gulur tikar. “Proyek pembuatan komik memang banyak tapi penghasilan kecil,” ungkap Chris.
Keadaan ini sangat kontras di negara lain. Misalnya Jepang dan Amerika. Di kedua negara tersebut profesi komikus sangat dihargai. Penghasilannya pun jauh lebih baik dari komikus Indonesia. Tapi meski begitu, kita harus tetap berusaha memajukan komik di negeri sendiri, dong. Caranya, hasilkan karya-karya komik terbaik dan bisa diterima di masyarakat. Kalau perkomikan Indonesia maju, kan, kita juga yang akan menikmati dampaknya, termasuk dari segi penghasilan. “Btw, seperti halnya pelukis tiap komikus punya harga sendiri,” imbuh cowok yang pernah menelurkan karya Josie and the Pussycats comic series ini.
‘Must do” lainnya, jalin sebanyak mungkin relasi, entah itu di dalam negeri atau luar negeri, supaya kita gampang dapetin proyek. Hal yang sama dilakukan Chris. Sewaktu sekolah di Amrik, ia sempat magang di perusahaan komik. Sekelar magang, Chris tetap menjalin komunikasi dengan teman-temannya. Dari situlah ia banyak mendapat tawaran pembuatan komik, sampai pada akhirnya Chris memutuskan untuk membuka perusahaan komik sendiri. Sampai sekarang Chris nggak kesulitan order, lho.
Tips for being pro
Menjadi seorang komikus tentu bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang musti dihadapi, terlebih di negara kita. But don’t worry, Chris berbaik hati mau membagikan tips supaya kita sukses menjadi komikus yang porfesional. Silahkan disimak….
A. Sebaiknya ambil pendidikan formal.
B. Selalu konsisten menghasilkan karya dan nggak boleh bosan-bosan. “Tekunlah dalam membuat komik. Jangan setengah-setengah dan harus selesai kalau membuat komik,” kata cowok yang pernah menyabet juara pertama Singapore Comic and Illustration Competition 2002 ini.
C. Jangan menyerah saat menemukan tantangan. Semua dimulai dari nol, nggak instan. So, don’t give up so easily!
D. Jangan pernah malu memperlihatkan karyamu pada orang lain. Dengan begitu, kamu bisa tahu komentar orang lain tentang karyamu. Kan, bisa jadi masukan supaya kemampuan dan karya kamu makin berkembang. “Kalau malu, tidak ada orang lain yang tahu karyamu,” ujar pemenang pertama AXN-Asia Anime Action Strip Contest 2001 dan Director Caravan Studio ini.
E. Keep on learning. Pepatah bilang, belajar itu nggak ada habisnya (setuju?).
Gimana, makin tertarik menjadi komikus? Kalau kelak cita-citamu ini tercapai, jangan lupa memajukan komik Indonesia, ya. Janji??? (retz)
0 komentar:
Posting Komentar