Jesus For Sale? part.1

~ Selasa, Agustus 10, 2010

Waaaa, nggak asyik banget, sih, judulnya? Masa Yesus dijual? Memangnya Yesus barang, sama seperti sepatu, baju, atau produk lainnya yang biasa di ‘sale’ di mal-mal? Tunggu dulu, bukannya mau menghina atau merendahkan Tuhan kita yang Maha Agung dan Mulia itu. Judul di atas sengaja KD pilih, supaya kita langsung seeeet…tersentak dan tersadar dengan realitas yang terjadi.

Yups, bukan cerita baru kalau ada begitu banyak anak-anak muda yang mengaku percaya dan beriman pada Yesus, menggadaikan atau bahkan ‘menjual’ Yesus-nya hanya demi kesenangan, kenikmatan atau keinginan duniawi. Mereka menukar Yesus dengan materi, cinta, kekuasaan, jabatan, pengetahuan, dan lainnya, dengan begitu gampang. Malahan, nih, fenomena ini makin marak di kalangan anak muda Kristen. (Mau bukti? Baca kesaksian di hal berikutnya!)

Okay, let’s say, mungkin kita nggak sampai melakukan hal seperti itu, tapi pernah nggak terlintas dalam pikiran kamu untuk meninggalkan Yesus karena kebutuhan yang mendesak? Misalnya, ketika kamu pacaran dengan orang yang nggak seiman. Pernah terpikir meninggalkan Yesus supaya hubungan kamu itu bisa berjalan lancar dan mendapat restu? Ehm, hati-hati, mungkin sekarang kamu bisa lolos ujian, tapi besok-besok? We never know!

So, guys, penting banget untuk kamu-kamu baca kupasan Issue KD kali ini. Doa KD, kamu akan semakin relize betapa precious-nya Yesus bagi hidup kita. Betapa beruntung dan harus bersyukurnya kita memiliki Yesus. Dan dengan begitu, nggak ada lagi anak-anak Tuhan yang dengan gampangnya meninggalkan Yesus atau menukarNya hanya untuk sesuatu yang nggak penting, yang fana, yang sementara bahkan yang sia-sia. Happy read!


When They Sold Jesus…

Nggak jarang sebagai orang Kristen, kita diperhadapkan pada situasi dimana kita harus memilih antara Yesus ataukah materi, pasangan hidup, jabatan, kekuasaaan, dan lain sebagainya. Dan nyatanya, nggak sedikit orang Kristen yang terpikir atau bahkan ‘menjual’ Yesus demi memenuhi hasrat duniawi. The true stories di bawah ini contohnya….

Note: Guys, jadikan pengalaman orang lain guru untuk kita menjadi lebih bijak menjalani hidup

Theresia (22 th).

Boleh dibilang aku berasal dari keluarga Kristen yang taat. Aku rajin ibadah ke gereja, ikut persekutuan pemuda, dan mengambil pelayanan. Ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMA, aku berpacaran dengan seorang pria, tapi ia beragama non Kristen. Awalnya aku nggak masalahin itu, karena pikirku hubungan kami nggak akan berlanjut ke tahap yang lebih serius. Meskipun pacarku seorang non Kristen, tapi ia sangat baik, setia, dan penuh perhatian. Nggak seperti pacar-pacarku sebelumnya yang selalu menyakiti dan mengecewakanku. Hubungan kami sudah berjalan 4 tahun. Aku nggak nyangka sama sekali hubunganku bisa bertahan lama. Lebih-lebih keluarga kami sudah mengenal satu sama lain dan sangat dekat. Keluarganya sangat baik padaku, dan keluargaku juga sangat menyayangi dia. Malahan Mama mendesak supaya aku segera menikah begitu aku kelar kuliah. Saat ini aku sedang mempersiapkan diri untuk sidang, dan dalam hitungan bulan akan segera diwisuda. Sungguh, aku sedang dalam persimpangan. Aku ingin tetap mempertahankan keyakinanku, tapi sepertinya sulit karena pacarku jelas-jelas menolak untuk meninggalkan keyakinannya. Putus? Sepertinya nggak mungkin, aku sangat mencintainya, dan dalam berhubungan pun kami sudah bertindak terlalu jauh. Aku sadar, aku salah karena dari awal sudah berani bermain api, berpacaran dengan pria yang nggak seiman. Entahlah, aku bingung. Banyak orang yang bilang kalau semua agama itu sama. Mereka menyakinkanku bahwa nggak masalah kalau aku berpindah agama. Tapi benarkah? (nita/retz)

Joko (21 th).

Sejak lahir aku sudah seorang Kristen. Dari kecil aku sudah rajin sekolah minggu, dan ketika dewasa aku aktif dalam pelayanan, baik di gereja maupun kampus. Aku juga pernah dipercaya menjadi ketua persekutuan. Aku juga mahsiswa yang cerdas, Malah boleh dibilang sangat cerdas. Tapi sayang, kecerdasanku justru menjadi boomerang buat diriku sendiri. Aku berusaha menggapai Tuhan dengan logika. Aku mulai mempertanyakan keberadaanNya. Dan pertanyaan itu terus menerus menggelayuti pikiranku. Hingga akhirnya aku benar-benar keblenger, aku menilai kalau Yesus dan ajarannya benar-benar nggak masuk akal. Aku bukan hanya mulai malas ke gereja, tapi juga berhenti menjadi ketua persekutuan. Teman-teman sepelayananku sontak terkejut dengan keputusanku yang dianggap nggak masuk akal. Tragisnya, akhirnya aku berhenti berdoa pada Yesus. Aku mulai memperlajari agama lain dan membandingkannya dengan Yesus. Setelah empat tahun belajar agama lain, akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan Yesus dan memeluk agama di luar Kristen. Kata orang-orang terdekatku, aku sudah menukarkan Yesus karena aku mengedepankan logika dan pengetahuan yang aku agung-agungkan itu. (n@tbet)

Johana (24th)

Aku lahir dari keluarga Kristen yang taat. Sejak kecil, aku sudah dididik untuk rajin beribadah. Dari sekolah minggu sampai aktif melayani di persekutuan pemuda. Umur 10 tahun aku sudah lahir baru dan dibaptis. Hingga menginjak bangku SMU, aku selalu membina hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan. Sampai suatu ketika aku bertemu seorang pria, sebut saja A di pesta ultah teman. Kami pun berkenalan dan sejak saat itu jadi akrab dan sering smsan. A adalah pemuda yang tampan, baik, perhatian dan begitu dewasa. Singkat cerita, kami pun jadian sekalipun aku tahu kalau A dan aku berbeda agama. Kami pacaran backstreet karena takut kegap orangtua. Sejak pacaran, bukannya membawa dia untuk mengenal Yesus malah aku yang jadi makin jauh dari Tuhan. Aku mulai jarang saat teduh dan sering absen ibadah pemuda di gerejaku, karena aku lebih memilih malam mingguan dengan A. Perasaanku mengatakan, A suka dengan keadaan ini. Dia sepertinya memang ingin menjauhkan aku dari pergaulan dengan teman-teman seiman. Hingga akhirnya, aku kedapatan hamil. Yah, kami memang sudah melakukan hubungan layaknya suami isteri. Ketika mengetahui aku hamil, orantuaku marah besar dan memintaku untuk menggugurkan kandungan. Tapi aku menolaknya sehingga mereka pun mengusir aku dari rumah. Aku dan A pun mengontrak. Celakanya, karena A bersikeras nggak akan pernah menjadi seorang Kristen, aku dengan berat hati akhirnya mengikuti agamanya supaya kami bisa menikah. Yah, aku telah menjual Yesus demi seorang laki-laki. Tak ada kedamaian yang kurasakan sejak hari aku meninggalkan Yesus. Kalaupun aku sholat itu hanya untuk menyenangkan suamiku. Hingga suatu hari, aku memberanikan diri untuk bersaat teduh. Aku menangis, menyesal, dan merasa amat berdosa telah mengkhianati dan menjual imanku hanya demi seorang pria. Sejak saat itu, meski melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, aku mulai rajin bersaat teduh dan merasakan kedamaian di hati. Tapi pada akhirnya suamiku mengetahuinya juga. Saat itu aku berkata jujur kalau aku ingin kembali pada Yesus dan nggak ada yang bisa memisahkan aku dariNya. Nggak disangka, A mengijinkan aku untuk kembali pada Yesus. Sungguh suatu mujizat Tuhan! Dan yang juga membahagiakan, orangtuaku menerimaku kembali. Sekarang doaku, kiranya A pun mau percaya pada Yesus dan diselamatkan. (dav)

Robert Leonardo (26th)

Atas usulan seorang teman, beberapa bulan yang lalu saya melamar di sebuah bank swasta sebagai Staff Account Officer. Nggak berapa lama, saya mendapat panggilan pertama. Oleh unit manager-nya saya diberi penjelasan kalau bank ini lebih mengembangkan saya di bidang mikro dan sedang merintis di bidang syariah. Saya mendengarkan dengan baik presentasi itu. Pas panggilan kedua, mulai dibicarakan soal salary saya. Singkat cerita, saya diterima dengan gaji 6 juta rupiah per bulan, dan bisa bekerja hari itu juga. Lalu si unit manager menanyakan agama saya. Setelah tahu saya seorang Kristen, air mukanya langsung berubah. “Maaf Pak Robert, saya pikir ANda Muslin. Kalau begitu kami belum bisa menerima Pak Robert, karena kami menerima karyawan beragama Islam,” katanya. Mendengar itu, tentu saja saya kecewa. Saya lalu mempertanyakan kenapa pihak perusahaan nggak mengecek lebih dulu CV saya, dan dia meminta maaf atas kesalahan tersebut. Lalu dia menawarakan supaya saya mengganti status agama di KTP saya menjadi agama Islam. “Hanya untuk formalitas, kok, Pak Robert. Bapak tetap bisa beribadah layaknya orang Kristen,” ujarnya dengan enteng. Lalu saya diberi waktu untuk memikirkan tawaran itu. Saat itu saya sempat bimbang. Secara manusia, gaji 6 juta sangat menggiurkan dan kesempatan belum tentu datang dua kali. Tapi saya tahu, saya akan merasa bersalah dan nggak merasa nggak damai sejahtera jika saya menerima tawaran itu. Saya nggak mau mengkhianati Yesus hanya untuk kepentingan pribadi. Akhirnya saya menolak taaran itu sambil mengucapkan terima kasih. Sebelum saya keluar dari ruangan, si unit manager masih berusaha membujuk saya, “Pikir-pikir lagi Pak Robert, toh hanya sebatas di KTP saja, kok. Bukan berarti Pak Robert benar-benar jadi orang Islam.” Tapi dengan halus tetap menolak dan berkata kalau saya nggak akan menjual iman saya. Puji Tuhan, tanpa terlalu lama menganggur, saya mendapat pekerjaan baru di sebuah bank swasta. Tuhan membuktikan kalau kita setia padaNya maka Dia akan melimpahkan berkat-berkat yang nggak akan pernah terpikirkan oleh kita. (DAV)




0 komentar:

Posting Komentar

TWITTER