April 2011: Bai Fang Li

~ Rabu, Mei 25, 2011
Di daerah Tianjin, China ada seorang tukang becak miskin yang menghabiskan seluruh uang hasil penghasilannya untuk disumbangkan kepada sebuah Yayasan sederhana yang menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin.

Hidup Untuk Mengasihi Orang Lain
Namanya Bai Fang Li. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya. Perawakannya tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan, dia mulai mengayuh becaknya dan pulang setelah jam delapan malam. Banyak orang yang suka pada Bai Fang Li, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan. Ia nggak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Tapi karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena nggak tega, melihat tubuh kecil yang ringkih itu dengan napas yang ngos-ngosan dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya. Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan, minuman, dan pakaian yang layak untuk dirinya. Tapi dia nggak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya malah disumbangkan kepada sebuah yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin.

Tersentuh Pada Seorang Anak Kecil
Suatu hari saat baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya, Bai Fang Li menyaksikan seorang bocah lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun sedang menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, tapi terus semangat melakukan tugasnya. Dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu. Beberapa kali ia perhatikan si bocah menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga. Hati Bai Fang Li tercekat melihat semua itu. Ia heran, mengapa anak itu nggak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak dan nggak akan habis kalo hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana. “Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya” jawab anak itu. “Orang tuamu dimana?” tanya Bai Fang Li. “Saya nggak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu, mereka nggak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil” sahut si bocah. Bai Fang Li meminta anak itu mengantarnya melihat kedua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Ming, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali. Kurus dan kotor dengan pakaian yang compang camping. Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Bai Fang Li mengatakan kepada pengurus yayasan itu, bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan, minuman, perawatan dan pendidikan yang layak.

Memberi Dalam Segala Kekurangan
Sejak saat itulah Bai Fang Li makin semangat mengayuh becaknya untuk mendapatkan uang. Dari seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuk, membeli dua potong kue kismis untuk makan siang, sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke yayasan yatim piatu itu. Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya. “Nggak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Saya bahagia melakukan semua ini,” katanya kalo orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Meninggal Dalam Kemiskinan
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000 yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua. Bai Fang Li berkata “Saya sudah nggak kuat mengayuh becak lagi. Saya nggak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis. Bai Fang Li wafat pada tanggal 23 September 2005 dalam usia 93 tahun. Ia meninggal dalam kemiskinan setelah terserang sakit kanker paru-paru. Seumur hidupnya, dari hasil menarik becak Bai Fang Li telah menyumbangkan uang sebesar RMB 350.000, atau setara dengan 455 juta rupiah kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin.
(DAV) diolah penulis dari berbagai sumber.

0 komentar:

Posting Komentar

TWITTER